Minggu, 09 November 2008
Ikrar jumroh, kebulatan tekad menjauhi kejahatan

Perbuatan melempar atau jumroh merupakan salah satu kewajiban pada pelaksanaan ibadat haji. Dari sisi historis seakan mengingatkan kembali pada peristiwa antara Nabi Ibrohim-Isma`il dan Iblis si penggoda. Di sisi kejiwaan dan hukum nilai ajarannya mempunyai peran besar bagi penegakkan hukum, bila memang dengan sengaja kita merefleksikannya dalam kehidupan.
Mengiringi pelaksanaan melempar jumroh (uula, wush-tho, dan `aqobah) sering dibayangi terjadinya kecelakaan. Bahkan musim haji tahun 1994 ditandai dengan tragedi Al Jamarot yang mengakibatkan 252 orang menjadi syuhada. Kita mungkin dapat mengingat kembali pelaksanaan haji tahun 1990, yang kala itu ditandai dengan tragedi terowongan Al Mu`aisim (Harrotullisan). Ada kesamaan pada kedua peristiwa, yaitu tidak terlepas dari pelaksanaan melempar jumroh. Tentu saja, kedua tragedi itu tidak akan menurunkan semangat berhaji dan semangat melempar jumroh, tapi jelas diperlukan kehati-hatian dan kewaspadaan dalam melaksanakannya.
Dalam kisah kejadian qurban diceritakan bahwa Isma`il pada waktu mengikuti bapaknya yakni Ibrohim, dia didatangi Iblis sambil berkata : Kasihan engkau ini Isma`il. Engkau tampak riang gembira, tenang dan senang mengikuti bapakmu pada hal bapakmu itu membawa tali dan pisau untuk menyembelihmu. Isma`il menjawab : ”Tak usah membohongiku, tidaklah mungkin Bapak akan menyembelihku, kenapa pula Bapak akan meyembelihku”. Iblis segera memanfaatkan kesempatan dengan mengatakan bahwa Ibrohim menganggapnya sebagai perintah Alloh. Maka Isma`il yang baru berumur sekitar tiga belas tahun menjawab dengan tegas dan lantang : ”Sami`naa wa atho`naa li amri robbi. Kami indahkan dan kami taat paTatkala Iblis terlihat akan membuka mulut lagi, Isma`il memungut sebutir batu di tanah lalu dilemparkan ke arah Iblis yang tepat mengenai mata kirinya hingga pecah. Gagal total sudah upaya Iblis menggoda keluarga Ibrohim; karena sebelumnya Iblis telah terlebih dahulu menggoda Nabi Ibrohim, Siti Hajar dan baru kemudian Isma`il A.S. Sehubungan itu kemudian Alloh menjadikan kewajiban melempar jumroh di tempat tersebut sebagai isyarat kebencian kepada syaitan dan sekaligus mengikuti apa yang diperbuat Isma`il. Keterangan seperti ini terdapat dalam Durrotun Nashihin Fil Wa`di wal Irsyad, halaman 180.
Melempar jomroh merupakan ikrar dan tekad untuk menjauhi perbuatan tercela, bersamaan dengan kehendak mempertinggi ketaatan. Demikian yang dapat difahamkan dari teriakan ketika melakukan jumroh, yaitu : ”Bismillaahi Alloohu Akbar, rojman lisy-syayaathiin wa ridhon lirrohmaan. Alloohummaj`alhu hajjan mabruuron wa sa`yan masykuuron”. (Saya memulai dengan menyebut nama Alloh. Alloh Maha Agung, terlaknatlah syaitan dan saya mohon keridloan Alloh yang Maha Pengasih. Ya Alloh jadikan haji ini haji yang mabrur dan sya`i yang diterima).
Niat, tekad atau minimal keinginan untuk menjauhi perbuatan tercela yang bersamaan dengan kehendak mempertinggi ketaatan dalam ikrar tadi, seharusnya terlihat pada kehidupan pribadi dalam setiap status yang melekat pada diri. Jika berstatus sebagai suami, ikrar jumroh harus mampu memotivisir untuk memberi pimpinan dan pengayoman terhadap isteri dan keluarganya; penuh tanggung jawab, perhatian serta pengertian. Demikian pula bila berstatus sebagai isteri, operasionalisasi ikrar tadi mestinya dapat nampak jelas pada kehidupan sebagai isteri.
Yang berstatus sebagai prajurit TNI, setelah jumroh patut menjadi prajurit pinandita. Dalam darah dagingnya diharapkan telah larut menyatu norma-norma luhur dari Sapta Marga, Sumpah Prajurit, Delapan Wajib TNI, atau Kode Etik Perwira, Sebelas Asas Kepemimpinan dan doktrin TNI lainnya. Bagi pegawai negeri lainnya yang telah digembleng untuk bernafaskan ”Panca Prasetya Korpri”, terlepas dari apakah telah menerima renumerasi atau tidak, pernyataan ketika melempar jumroh seyogyanya membekas dalam jiwa. Begitu pula bagi kalangan Hakim tingkat pertama, tingkat banding dan kasasi serta penegak hukum lain. Dengan demikian dambaan menciptakan aparatur negara yang bersih dan berwibawa sepantasnya mendapat dukungan luas dari setiap pribadi aparat, terutama yang telah mengucapkan ikrar tadi.
Sesuai atau tidak apa yang telah (sengaja) diucapkan pada saat melempar butir-butir batu dengan perbuatan sehari-hari tergantung dari niat kita sendiri, mau atau tidak, berkehendak atau tidak. Kita pasti sama-sama memiliki keyakinan bahwa Alloh SWT akan menolong serta mengangkat derajat orang yang berniat menanam kebajikan di muka bumi. Walhal, kita sangat sadar bahwa kesempatan hidup di dunia hanya diberikan-Nya satu kali saja. Ucapan Bismillaahi Alloohu Akbar, Rojman lisy-syayaathiin dan seterusnya diulang-ulang sejak melempar jumroh `aqobah tanggal 10 Dzul Hijjah setiba di Mina dari Muzdalifah, sampai tanggal 11 dan tanggal 12, bahkan bagi yang nafar tsani, pada tanggal 13 kembali melakukan jumroh yang tiga dengan ucapan-ucapan yang sama.
Dihubungkan dengan butir-butir normatif Pedoman Perilaku Hakim sebagaiman ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung dalam Surat Keputusan Nomor: KMA/104A/SK/XII/2006 tanggal 22 Desember 2006 yang terkenal dengan PPH, dan kemudian diikuti dengan Petunjuk Pelaksanaan PPH yang diatur dalam Surat Keputusan Nomor: 215/KMA/SK/XII/2007 tanggal 19 desember 2007, kita menaruh harapan agar ikrar yang telah dan pernah atau akan diucapkan oleh kita dalam pelaksanaan haji akan turut memperbesar gaung pemikiran mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, termasuk mewujudkan pengadilan yang mandiri, bersih dan berwibawa.
Semoga kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa Indonesia semakin indah seiring dengan semakin bertambahnya individu yang jiwanya terpaut erat dengan makna ikrar jumroh, membulatkan tekad menjauhi kejahatan dan membulatkan tekad mempertinggi ketaatan. Denyut nadi harapan masih terasa dan jalan selalu ada. Kiranya Tuhan menyertai kita semua.
@@ 2008 @@
REFLEKSI IBADAT HAJI
Perhatian umat Islam pada bulan Dzulhijjah seakan tertambat pada pelaksanaan ibadat haji, sholat ’idul adha, dan penyembelihan hewan qurban. Gema penyelenggaraan ibadat seputar haji telah terasa jauh sebelum Dzulhijjah. Hal ini pantas karena ibadat haji dari sisi waktu terkait pada asyhurum ma’luumat, yakni waktu dari bulan-bulan tertentu, yaitu Syawal, Dzulqo’idah, hingga hari kesepuluh Dzulhijjah. Sedangkan dari sisi persiapan atau kesiapan jelas pula harus jauh sebelumnya dilakukan, baik yang terkait dengan kemampuan ekonomi, kemauan, maupun kemampuan prosedural, kaifiyat atau tata cara.
Setiap tahun terlihat kegiatan yang seakan merupakan putaran ulang kaset rekaman. Bimbingan manasik haji seperti menjamur dari majlis ta’lim sampai di hotel berbintang. Yang mengantar keberangkatan tamu Alloh itu bagaikan berduyun-duyun. Tak ketinggalan kambing desa pun masuk kota terpajang di banyak pinggiran jalan. Semua itu dapat memberikan makna bagi kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan bahkan terhadap kehidupan berbangsa serta bernegara. Tentu kita patut bersyukur karena pemerintah senantiasa memberi perhatian besar serta bersungguh-sungguh.
Nabi Muhammad SAW memberi jaminan bahwa imbalan haji mabrur adalah adalah Surga. Jaminan seperti itu diriwayatkan Imam Bukhori dan Muslim sebagaimana hadis Nabi
اَلْعُمْرَةُ إِلَى اْلعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَابَيْنَهُمَا، وَاْلحَجُّ اْلمَبْرُوْرُ لَيْسَ جَزَآئُهُ إِلاَّاْلجَنَّةُ.
Al’umrotu ilal ‘umroti kaffaarotun limaa bainahumaa wal hajjul mabruuru laisa jazaa-uhu illal jannah.
(`Umroh yang satu ke `umroh yang lain merupakan penghapusan dosa antara keduanya, adapun imbalan haji yang mabrur tiada lain kecuali Surga).
Pasti, pernyataan sedemikian itu bukan jaminan yang kosong. Tapi pasti pula Nabi menghendaki agar para haji dan seluruh muslimin mampu menghidupkan alam surgawi dalam praktek kehidupan dunia. Dengan lain kata berkemauan untuk merefleksikan nilai ajaran ibadat haji dalam kehidupan dunia saat ini. Adapun jalan untuk menghidupkan alam surgawi dalam kehidupan dunia dengan menekan-hilangkan perbuatan cela, keji, jahat, maksiyat dan tidak terpuji; bersamaan dengan menumbuh-suburkan kepatuhan, ketaatan dan ketakwaan kepada Alloh SWT. Nabi Muhammad SAW bersabda
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفَثْ وَلَمْ يَفْسُقْ خَرَجَ مِنْ ذنُوْبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Man hajja falam yarfats wa lam yafsuq khoroja min dzunuubihi ka yaumi waladat hu ummuhu.
Barangsiapa melaksanakan ibadah haji tanpa menuturkan kata-kata keji dan melakukan perbuatan cela maka terbebaskan dari dosanya bagaikan di saat ia lahir dari perut ibunya. ( Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim).
مَنْ اََتَى هَذَااْلبَيْتَ لاَيُرِيْدُ إِلاَّ إِيَّاهُ فَطَافَ بِهِ طَوَافًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Man ataa haadzal baita laa yriidu illaa iyyaahu fa thoofa bihii thowwaafan khoroja min dzunuubihii ka yaumi waladat hu ummuhu.
Barangsiapa datang ke Baitulloh ini dengan kehendak semata-mata hanya menginginkan keridhoan Alloh kemudian ia melakukan thowaf maka ia terbebaskan dari dosanya, menjadi bersih bagaikan baru dilahirkan oleh ibunya.
Saat awal melangkah dari rumah masing-masing, para dhuyuufurrohman berucap, dengan suara yang mungkin terbata-bata tapi hati tegar dan yakin, “Bismillahi, tawakkaltu ‘alallohi, walaa haula walaa quwwata illaa billah”. Bismillahi, dengan asma Alloh. Tawakkaltu `alalloohi, saya bertawakal serta berserah diri kepada Alloh. Walaa haula walaa quwwata illa billahi, tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Alloh.
Bila kita renungkan dari apa yang tersurat dan tersirat pada tiga pokok ucapan di atas, yaitu : Bismillaahi, tawakkaltu ’alalloohi, dan laa haula walaa quwwata illaa billaahi akan memberikan natijah dan pelajaran yang berharga dalam menghadapi kehidupan di dunia. Secara selintas dapat diuraikan sebagai berikut di bawah ini.
1. Ucapan Bismillaahi adalah pernyataan bahwa keberangkatan untuk berhaji semata-mata lillahi ta’alaa, tidak ada pendorong lain. Bukan untuk harta, bukan untuk wisata, bukan untuk jabatan dan bukan pula sekedar ingin memperoleh sebutan. Karena segala sesuatu akan tiada berarti bila tanpa disertai ridlo Alloh SWT. Dia berfirman:
وَاللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَقُّ أَنْ يُرْضُوهُ إِنْ كَانُوا مُؤْمِنِينَ
Walloohu wa rosuuluhuu ahaqqu an yurdhuuhu in kaanuu mu’miniina ( Q. S. 9; At Taubah, 63).
Maksudnya: Padahal Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih patut mereka pamrih keridhaannya jika mereka itu memang mu’min.
Pada hakekatnya kata-kata bismillaahi memotivisir orang perorangan agar pada saat melaksanakan tugas, pekerjaan atau kegiatan yang berkaitan dengan jabatan, baik jabatan fungsional maupun struktural, seyogyanya memperlihatkan semangat dari jiwa lillaahi ta`aalaa. Bukan untuk dan bukan karena yang lain. Begitu pula dalam menunaikan tugas, pekerjaan atau kegiatan pada setiap status sosial. Dengan demikian, hakim, jaksa, TNI, guru/dosen, dokter, aphoteker, aparat pemerintahan dan lain-lain jabatan di lingkungan pegawai negeri diharapkan merata memperlihatkan diri berjiwakan lillaahi ta’aalaa. Hal ini pun perlu terlihat pada sepak terjang pengusaha, pedagang, mahasiswa, pelajar, cendekiawan atau ulama dan sebagainya.
Namun kesadaran akan semangat yang dijiwai lillaahi ta`aalaa itu jangan ditafsirkan mengandung konotasi dan tendensi untuk tidak menghargai professi serta keterampilan yang dimiliki seseorang. Bukan seperti ini. Alloh menyiratkan agar setiap manusia mampu memberikan penghargaan sesuai prestasi orang yang melakukan. Dia berfirman dalam Al Qur’an, surat 46 Al Ahqoof, ayat 19 wa likullin darojaatum mimmaa `amiluu wa liyuwaffiyahum a`maalahum wa hum laa yudl-lamuun.
وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا وَلِيُوَفِّيَهُمْ أَعْمَالَهُمْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ.
Maksudnya: Dan setiap orang memperoleh derajat sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan; sedemikian itu agar Alloh mencukupkan balasan bagi pekerjaan mereka serta agar mereka tidak dirugikan.
2. Ucapan tawakkal `alalloohi adalah tekad yang digerakkan oleh kesadaran bahwa tidak ada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi pada tarikan nafas berikutnya. Konon pula esok hari. Tawakkaltu `alalloohi yang diucapkan dalam rangka `ibadat haji merupakan tekad untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi dari akibat kemauan dan keputusan untuk melakukan suatu perbuatan. Dari sisi lain adalah merupakan kepasrahan yang penuh kepada-Nya dan penyerahan diri yang utuh kepada Dia, Alloh SWT. Sekaligus juga hal ini merupakan gambaran kesiapan mental dalam memimpin diri sendiri atas dasar kepercayaan pada kemampuan pribadi serta keyakinan akan pertolongan-Nya. Siap pula menanggung risiko.
Rasa percaya diri dipengaruhi oleh tingkat pemahaman terhadap aspek-aspek dari apa yang dihadapi. Baik yang dihadapi itu berupa objek pekerjaan atau bentuk tertentu peribadatan. Jika kita tarik ke hal yang lebih umum dan dijelmakan dalam istilah yang lebih keren dapat disebut profesionalisme yang relatif prima akan memberikan keyakinan dalam setiap langkah. Ini penting, diperlukan dan menetukan dalam kegiatan di bidang apapun. Setiap pribadi muslim dituntut memiliki tingkat professionalisme yang relatif prima untuk bekerja dan kerkarya.
Pelajaran lain yang dapat dipetik dari tawakkal `alalloohi adalah bahwa setiap orang yang berharap melahirkan hasil karya yang baik, diterima oleh siapa pun, seyogyanya di samping siap memberikan pengorbanan, siap menghadapi kenyataan, maka dia harus mampu pula menerima buah dari upaya yang telah dikerjakan disertai kepasrahan pada kepastian dari Yang Maha Mengatur. Berbarengan dengan semuanya, memiliki pula keuletan dalam mencari jalan ke luar dari kesulitan tanpa merasa putus asa dari rahmat Alloh SWT.
3. Kalimat wa laa haula wa laa quwwata illaa billaahi merupakan ungkapan kesadaran bahwa sebagai manusia sangat membutuhkan pertolongan-Nya. Tidak ada daya untuk dapat berbuat taat kecuali karena berkat pertolongan-Nya. Begitu pula tidak mempunyai kekuatan dalam menjauhi kemaksiyatan kecuali dengan pertolongan-Nya.
Pertolongan Alloh akan datang bila kita berupaya menegakkan serta menunaikan kewajiban keagamaan yang menjadi tanggung jawab masing-masing. Bahkan lebih dari itu Dia akan mengokohkan kedudukan mereka sebagaimana firman-Nya ”yaa ayyuhal ladziina aamanuu in tanshurullooha yanshurkum wa yustabbit aqdaamakum. Al Qur’an, S. 47; Muhammad ayat 7)
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Maksudnya: Hai orang-orang yang beriman jika kamu menolong agama Alloh dengan menunaikan kewajiban dan menegakkannya maka niscaya Alloh akan memberikan pertolongan kepada kamu sekalian dan meneguhkan kedudukanmu.
Pada surat 22 Al Hajj, ayat 40 Alloh pun menjanjikan pertolongan sebagaimana maksud firman-Nya : Sungguh Alloh benar-benar pasti memberikan pertolongan kepada orang yang menolong tegaknya agama Alloh. Alloh itu sungguh Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
Meskipun tuntunan Alloh telah secara gamblang menyatakan bahwa pertolongan-Nya akan datang bila kita menunaikan kewajiban keagamaan, namun tidak jarang ditemukan sikap muslim yang mengherankan. Pertolongan diinginkan tapi kewajiban ditinggalkan. Mungkin kita pernah mendengar seseorang mengajak temannya sholat jum`at dan hanya mendapat jawaban salam aja ya. Sepertinya hanya bernada guyon padahal pada hakekatnya mengandung sikap menganggap remeh penunaian kewajiban tersebut.
Dari sekedar uraian singkat tadi jelas bahwa segala ucapan atau perbuatan dalam pelaksanaan ibadat haji mengandung makna yang dalam bagi keteraturan dan kebahagiaan hidup manusia sejak di dunia. Kembali dan terserah kepada kita sendirilah apakah sudah siap untuk merefleksikan nilai-nilai ibadat itu dalam kehidupan dan penghidupan. Kiranya akan bijaksana bila makna berhaji mendorong tumbuh suburnya kepatuhan, ketaatan dan ketakwaan serta memacu terkikisnya perbuatan cela, keji, jahat, maksiyat dan tidak terpuji dalam melaksanakan pekerjaan, melaksanakan tugas dan fungsi dalam jabatan struktural maupun fungsional.
Ya Alloh, kami datang memenuhi panggilan-Mu, Labbaik Alloohumma labbaik
@@ 2008 @@
Selasa, 04 November 2008
Hakim Pinandita

Oleh: H. Sarman Mulyana, S.H
Hakim di seluruh belahan bumi mendapat tempat yang terpandang, terhormat, bahkan dikatakan mulia. Namun, sisi gelap kehidupan mereka sering muncul atau sengaja dimunculkan dalam pembicaraan, berupa adanya perbuatan mengesalkan, menyebalkan, kotor, nista, memuakkan, dan atau menjijikkan. Bahkan sepertinya tuduhan negatif sengaja diperdengarkan di setiap saat dan tempat. Hal ini, dari satu sisi memberi gambaran seakan masyarakat sudah tidak melihat lagi kemilau sifat Hakim yang terpancar dari “Panca Dharma Hakim” yakni kartika, cakra, candra, sari dan tirta. Dari sisi lain, memberi gambaran kerinduan masyarakat untuk menemukan dan bertemu dengan Hakim yang senantiasa mengedepankan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mampu memusnahkan segala kebathilan, kelaliman, ketidak adilan, memiliki sifat bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur dan berkelakuan tidak tercela, serta jujur. Di celah kondisi sedemikian itu, kita yakin masih banyak Hakim yang benar-benar menjunjung luhur profesinya.
Tentu saja lontaran ejekan, gunjingan, atau tuduhan serupa tadi tidak boleh menyurutkan langkah bila Hakim merasa pada dirinya benar-benar bersemayam niat, tekad, perbuatan, dan dedikasi yang menjunjung tanggung jawab profesi. Begitu pula bagi orang yang berminat ingin menggeluti dunia hukum, semua itu tidak boleh menyurutkan niat membaktikan diri di bidang hukum. Bagi orang yang merasa gunjingan, atau tuduhan adalah memang benar dan dia pernah melakukan hal itu, hendaknya segera mawas diri, kembali kepada koridor agama, perundang-undangan dan etika profesi. Hati nurani yang terdalam pasti masih menyadari bahwa perbuatan baik, benar, luhur, atau terpuji akan membuahkan kebaikan, sedangkan perbuatan buruk, jahat, atau aniaya akan berakibat penderitaan.
Bila saja aparat penegak hukum berbuat sesuai koridor hukum, masyarakat tidak akan melontarkan tuduhan yang keji, meskipun belum tentu mengacungkan ibu jari. Sebaliknya, perbuatan sewenang-wenang meskipun bersembunyi di balik kewenangan akan menuai cercaan, dan diikuti gelombang hinaan.
Sebait syair berbahasa arab dan dalam tulisan latinnya mengungkapkan :
“Kariimun mataa amdahu, amdahu wal waro, wa idzaa maa lumtuhuu, lumtuhuu wahdii”.
Kala aku memuji seseorang yang mulia, orang lain pun ikut pula memujinya. Tapi sewaktu aku menghinanya, aku sendiri saja yang menghinakannya, orang lain tidak turut serta.
Keputusan untuk berbuat baik dan benar, keputusan untuk melakukan perbuatan mulia, luhur, terpuji, atau perbuatan berguna sangat tergantung pada pribadi masing-masing, termasuk kita dan para Hakim. Demikian pula keputusan untuk melakukan perbuatan yang menyalahi aturan, perbuatan aniaya, jahat, nista, buruk, atau perbuatan sia-sia, tergantung dirinya sendiri. Bahkan mata petindak dengan penglihatannya, telinga dengan pendengarannya, dan akal dengan pemikirannya telah turut serta dalam pengambilan keputusan itu. Dengan demikian pantas pertanggungjawaban pun adalah mandiri, karena semua pilihan untuk berbuat dilakukan atas putusan hatinya sendiri. Pertanggungjawaban yang mandiri bukan sekedar secara duniawi, tapi juga sampai di hadapan Hakim Yang Maha Adil.
Al Quran dalam bahasa arab dan tulisan latinnya menyatakan :
“Inna kholaqnal insaana min nuthfatin amsaajin nabtaliihi fa ja’alnaahu samii’am bashiiro. Innaa hadainaahus sabiila immaa syaakirow wa immaa kafuuroo”.
Maksudnya:
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur antara benih lelaki dengan perempuan yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukan kepadanya jalan yang lurus, tetapi manusia itu ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (Q. S. 76; Al Insan 2-3)
”Kullu nafsim bimaa kasabat rohiinah”.
Maksudnya:
Tiap-tiap orang bertanggungjawab atas perbuatannya (Q.S. 74 Al Muddats-tsir 37).
Kita semua menyadari bahwa pada dasarnya setiap manusia adalah baik dan menyukai kebaikan. Tapi perbuatannya mencampakan kehormatan dan kemuliaan dirinya hingga berada di bawah penghargaan terhadap seekor binatang, atau lebih rendah lagi dari itu. Munculah umpatan yang tidak enak didengar karena mempersonifikasikan manusia dengan babi, buaya, monyet, kapal keruk atau ungkapan lain yang terasa sangat keji didengar oleh orang yang masih memiliki jiwa mulia. Semua adalah buah dari perbuatan diri sendiri, ngunduh wohing pakarti. Alloh SWT yang Maha Penyayang, Maha Pemberi Taubat pun tidak menyukai manusia yang dalam menentukan keadilan didasarkan pada hawa nafsu, tapi Tuhan tidak buta terhadap orang yang berada di jalan-Nya .
Dua sabda dari Hadis Kanjeng Nabi Muhammad SAW dan dua ayat dari Alloh SWT berikut ini perlu kita renungkan dalam keheningan diri.
“Innallooha ma’al qoodhii maa lam yajur, fa idza jaaro takhollaa wa lazimahusy syaithoonu”.
Sesungguhnya Alloh SWT menyertai para Hakim selama Hakim itu tidak menyimpang dari kebenaran. Apabila Hakim itu telah berbuat curang maka Alloh SWT pun menjauhkan diri-Nya dari Hakim itu lalu mulailah syetan menjadi temannya yang rapat.
“Maa min ‘abdin yastar’iihil laahu ‘azza wa jalla ro’iyatan yamuutu yauma yamuutu wa huwa ghoosyun ro’iyatahuu illaa harromal loohu ta’aalaa ‘alaihiil jannatu”.
Tidak ada seseorang hamba Alloh yang oleh Alloh diserahi sesuatu urusan rakyat, yang dia mati dalam keadaan mengicuh rakyat, melainkan Alloh mengharamkan baginya Surga.
Alloh SWT berfirman
“Falaa tattabi’ul hawaa an ta’diluu”
Maka janganlah kamu sekalian mengikuti hawa nafsumu sehingga kalian tidak lagi bisa berbuat adil. (Q.S. 4 An Nisa 135)
Dan janganlah kamu mencampur-adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah pula kamu menyembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui (Q.S. 2; Al Baqoroh 42)
Semoga kita semakin membuka mata hati dan tergerak untuk bangkit mempertinggi kehendak menjadi Hakim yang baik, jujur, benar, adil, konsekwen dan konsisten mengibarkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sekedar renungan pribadi
dalam moment Rakernas Mari 2008 di Jakarta.