Minggu, 09 November 2008

REFLEKSI IBADAT HAJI

Oleh H. Sarman Mulyana, S.H.


Perhatian umat Islam pada bulan Dzulhijjah seakan tertambat pada pelaksanaan ibadat haji, sholat ’idul adha, dan penyembelihan hewan qurban. Gema penyelenggaraan ibadat seputar haji telah terasa jauh sebelum Dzulhijjah. Hal ini pantas karena ibadat haji dari sisi waktu terkait pada asyhurum ma’luumat, yakni waktu dari bulan-bulan tertentu, yaitu Syawal, Dzulqo’idah, hingga hari kesepuluh Dzulhijjah. Sedangkan dari sisi persiapan atau kesiapan jelas pula harus jauh sebelumnya dilakukan, baik yang terkait dengan kemampuan ekonomi, kemauan, maupun kemampuan prosedural, kaifiyat atau tata cara.
Setiap tahun terlihat kegiatan yang seakan merupakan putaran ulang kaset rekaman. Bimbingan manasik haji seperti menjamur dari majlis ta’lim sampai di hotel berbintang. Yang mengantar keberangkatan tamu Alloh itu bagaikan berduyun-duyun. Tak ketinggalan kambing desa pun masuk kota terpajang di banyak pinggiran jalan. Semua itu dapat memberikan makna bagi kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan bahkan terhadap kehidupan berbangsa serta bernegara. Tentu kita patut bersyukur karena pemerintah senantiasa memberi perhatian besar serta bersungguh-sungguh.
Nabi Muhammad SAW memberi jaminan bahwa imbalan haji mabrur adalah adalah Surga. Jaminan seperti itu diriwayatkan Imam Bukhori dan Muslim sebagaimana hadis Nabi
اَلْعُمْرَةُ إِلَى اْلعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَابَيْنَهُمَا، وَاْلحَجُّ اْلمَبْرُوْرُ لَيْسَ جَزَآئُهُ إِلاَّاْلجَنَّةُ.
Al’umrotu ilal ‘umroti kaffaarotun limaa bainahumaa wal hajjul mabruuru laisa jazaa-uhu illal jannah.
(`Umroh yang satu ke `umroh yang lain merupakan penghapusan dosa antara keduanya, adapun imbalan haji yang mabrur tiada lain kecuali Surga).
Pasti, pernyataan sedemikian itu bukan jaminan yang kosong. Tapi pasti pula Nabi menghendaki agar para haji dan seluruh muslimin mampu menghidupkan alam surgawi dalam praktek kehidupan dunia. Dengan lain kata berkemauan untuk merefleksikan nilai ajaran ibadat haji dalam kehidupan dunia saat ini. Adapun jalan untuk menghidupkan alam surgawi dalam kehidupan dunia dengan menekan-hilangkan perbuatan cela, keji, jahat, maksiyat dan tidak terpuji; bersamaan dengan menumbuh-suburkan kepatuhan, ketaatan dan ketakwaan kepada Alloh SWT. Nabi Muhammad SAW bersabda
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفَثْ وَلَمْ يَفْسُقْ خَرَجَ مِنْ ذنُوْبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Man hajja falam yarfats wa lam yafsuq khoroja min dzunuubihi ka yaumi waladat hu ummuhu.
Barangsiapa melaksanakan ibadah haji tanpa menuturkan kata-kata keji dan melakukan perbuatan cela maka terbebaskan dari dosanya bagaikan di saat ia lahir dari perut ibunya. ( Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim).
مَنْ اََتَى هَذَااْلبَيْتَ لاَيُرِيْدُ إِلاَّ إِيَّاهُ فَطَافَ بِهِ طَوَافًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Man ataa haadzal baita laa yriidu illaa iyyaahu fa thoofa bihii thowwaafan khoroja min dzunuubihii ka yaumi waladat hu ummuhu.
Barangsiapa datang ke Baitulloh ini dengan kehendak semata-mata hanya menginginkan keridhoan Alloh kemudian ia melakukan thowaf maka ia terbebaskan dari dosanya, menjadi bersih bagaikan baru dilahirkan oleh ibunya.
Saat awal melangkah dari rumah masing-masing, para dhuyuufurrohman berucap, dengan suara yang mungkin terbata-bata tapi hati tegar dan yakin, “Bismillahi, tawakkaltu ‘alallohi, walaa haula walaa quwwata illaa billah”. Bismillahi, dengan asma Alloh. Tawakkaltu `alalloohi, saya bertawakal serta berserah diri kepada Alloh. Walaa haula walaa quwwata illa billahi, tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Alloh.
Bila kita renungkan dari apa yang tersurat dan tersirat pada tiga pokok ucapan di atas, yaitu : Bismillaahi, tawakkaltu ’alalloohi, dan laa haula walaa quwwata illaa billaahi akan memberikan natijah dan pelajaran yang berharga dalam menghadapi kehidupan di dunia. Secara selintas dapat diuraikan sebagai berikut di bawah ini.
1. Ucapan Bismillaahi adalah pernyataan bahwa keberangkatan untuk berhaji semata-mata lillahi ta’alaa, tidak ada pendorong lain. Bukan untuk harta, bukan untuk wisata, bukan untuk jabatan dan bukan pula sekedar ingin memperoleh sebutan. Karena segala sesuatu akan tiada berarti bila tanpa disertai ridlo Alloh SWT. Dia berfirman:
وَاللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَقُّ أَنْ يُرْضُوهُ إِنْ كَانُوا مُؤْمِنِينَ
Walloohu wa rosuuluhuu ahaqqu an yurdhuuhu in kaanuu mu’miniina ( Q. S. 9; At Taubah, 63).
Maksudnya: Padahal Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih patut mereka pamrih keridhaannya jika mereka itu memang mu’min.
Pada hakekatnya kata-kata bismillaahi memotivisir orang perorangan agar pada saat melaksanakan tugas, pekerjaan atau kegiatan yang berkaitan dengan jabatan, baik jabatan fungsional maupun struktural, seyogyanya memperlihatkan semangat dari jiwa lillaahi ta`aalaa. Bukan untuk dan bukan karena yang lain. Begitu pula dalam menunaikan tugas, pekerjaan atau kegiatan pada setiap status sosial. Dengan demikian, hakim, jaksa, TNI, guru/dosen, dokter, aphoteker, aparat pemerintahan dan lain-lain jabatan di lingkungan pegawai negeri diharapkan merata memperlihatkan diri berjiwakan lillaahi ta’aalaa. Hal ini pun perlu terlihat pada sepak terjang pengusaha, pedagang, mahasiswa, pelajar, cendekiawan atau ulama dan sebagainya.
Namun kesadaran akan semangat yang dijiwai lillaahi ta`aalaa itu jangan ditafsirkan mengandung konotasi dan tendensi untuk tidak menghargai professi serta keterampilan yang dimiliki seseorang. Bukan seperti ini. Alloh menyiratkan agar setiap manusia mampu memberikan penghargaan sesuai prestasi orang yang melakukan. Dia berfirman dalam Al Qur’an, surat 46 Al Ahqoof, ayat 19 wa likullin darojaatum mimmaa `amiluu wa liyuwaffiyahum a`maalahum wa hum laa yudl-lamuun.
وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا وَلِيُوَفِّيَهُمْ أَعْمَالَهُمْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ.
Maksudnya: Dan setiap orang memperoleh derajat sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan; sedemikian itu agar Alloh mencukupkan balasan bagi pekerjaan mereka serta agar mereka tidak dirugikan.
2. Ucapan tawakkal `alalloohi adalah tekad yang digerakkan oleh kesadaran bahwa tidak ada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi pada tarikan nafas berikutnya. Konon pula esok hari. Tawakkaltu `alalloohi yang diucapkan dalam rangka `ibadat haji merupakan tekad untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi dari akibat kemauan dan keputusan untuk melakukan suatu perbuatan. Dari sisi lain adalah merupakan kepasrahan yang penuh kepada-Nya dan penyerahan diri yang utuh kepada Dia, Alloh SWT. Sekaligus juga hal ini merupakan gambaran kesiapan mental dalam memimpin diri sendiri atas dasar kepercayaan pada kemampuan pribadi serta keyakinan akan pertolongan-Nya. Siap pula menanggung risiko.
Rasa percaya diri dipengaruhi oleh tingkat pemahaman terhadap aspek-aspek dari apa yang dihadapi. Baik yang dihadapi itu berupa objek pekerjaan atau bentuk tertentu peribadatan. Jika kita tarik ke hal yang lebih umum dan dijelmakan dalam istilah yang lebih keren dapat disebut profesionalisme yang relatif prima akan memberikan keyakinan dalam setiap langkah. Ini penting, diperlukan dan menetukan dalam kegiatan di bidang apapun. Setiap pribadi muslim dituntut memiliki tingkat professionalisme yang relatif prima untuk bekerja dan kerkarya.
Pelajaran lain yang dapat dipetik dari tawakkal `alalloohi adalah bahwa setiap orang yang berharap melahirkan hasil karya yang baik, diterima oleh siapa pun, seyogyanya di samping siap memberikan pengorbanan, siap menghadapi kenyataan, maka dia harus mampu pula menerima buah dari upaya yang telah dikerjakan disertai kepasrahan pada kepastian dari Yang Maha Mengatur. Berbarengan dengan semuanya, memiliki pula keuletan dalam mencari jalan ke luar dari kesulitan tanpa merasa putus asa dari rahmat Alloh SWT.
3. Kalimat wa laa haula wa laa quwwata illaa billaahi merupakan ungkapan kesadaran bahwa sebagai manusia sangat membutuhkan pertolongan-Nya. Tidak ada daya untuk dapat berbuat taat kecuali karena berkat pertolongan-Nya. Begitu pula tidak mempunyai kekuatan dalam menjauhi kemaksiyatan kecuali dengan pertolongan-Nya.
Pertolongan Alloh akan datang bila kita berupaya menegakkan serta menunaikan kewajiban keagamaan yang menjadi tanggung jawab masing-masing. Bahkan lebih dari itu Dia akan mengokohkan kedudukan mereka sebagaimana firman-Nya ”yaa ayyuhal ladziina aamanuu in tanshurullooha yanshurkum wa yustabbit aqdaamakum. Al Qur’an, S. 47; Muhammad ayat 7)
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Maksudnya: Hai orang-orang yang beriman jika kamu menolong agama Alloh dengan menunaikan kewajiban dan menegakkannya maka niscaya Alloh akan memberikan pertolongan kepada kamu sekalian dan meneguhkan kedudukanmu.
Pada surat 22 Al Hajj, ayat 40 Alloh pun menjanjikan pertolongan sebagaimana maksud firman-Nya : Sungguh Alloh benar-benar pasti memberikan pertolongan kepada orang yang menolong tegaknya agama Alloh. Alloh itu sungguh Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
Meskipun tuntunan Alloh telah secara gamblang menyatakan bahwa pertolongan-Nya akan datang bila kita menunaikan kewajiban keagamaan, namun tidak jarang ditemukan sikap muslim yang mengherankan. Pertolongan diinginkan tapi kewajiban ditinggalkan. Mungkin kita pernah mendengar seseorang mengajak temannya sholat jum`at dan hanya mendapat jawaban salam aja ya. Sepertinya hanya bernada guyon padahal pada hakekatnya mengandung sikap menganggap remeh penunaian kewajiban tersebut.
Dari sekedar uraian singkat tadi jelas bahwa segala ucapan atau perbuatan dalam pelaksanaan ibadat haji mengandung makna yang dalam bagi keteraturan dan kebahagiaan hidup manusia sejak di dunia. Kembali dan terserah kepada kita sendirilah apakah sudah siap untuk merefleksikan nilai-nilai ibadat itu dalam kehidupan dan penghidupan. Kiranya akan bijaksana bila makna berhaji mendorong tumbuh suburnya kepatuhan, ketaatan dan ketakwaan serta memacu terkikisnya perbuatan cela, keji, jahat, maksiyat dan tidak terpuji dalam melaksanakan pekerjaan, melaksanakan tugas dan fungsi dalam jabatan struktural maupun fungsional.
Ya Alloh, kami datang memenuhi panggilan-Mu, Labbaik Alloohumma labbaik




@@ 2008 @@

Tidak ada komentar: