Minggu, 09 November 2008

Ikrar jumroh, kebulatan tekad menjauhi kejahatan


Oleh. H. Sarman Mulyana, S.H.


Perbuatan melempar atau jumroh merupakan salah satu kewajiban pada pelaksanaan ibadat haji. Dari sisi historis seakan mengingatkan kembali pada peristiwa antara Nabi Ibrohim-Isma`il dan Iblis si penggoda. Di sisi kejiwaan dan hukum nilai ajarannya mempunyai peran besar bagi penegakkan hukum, bila memang dengan sengaja kita merefleksikannya dalam kehidupan.
Mengiringi pelaksanaan melempar jumroh (uula, wush-tho, dan `aqobah) sering dibayangi terjadinya kecelakaan. Bahkan musim haji tahun 1994 ditandai dengan tragedi Al Jamarot yang mengakibatkan 252 orang menjadi syuhada. Kita mungkin dapat mengingat kembali pelaksanaan haji tahun 1990, yang kala itu ditandai dengan tragedi terowongan Al Mu`aisim (Harrotullisan). Ada kesamaan pada kedua peristiwa, yaitu tidak terlepas dari pelaksanaan melempar jumroh. Tentu saja, kedua tragedi itu tidak akan menurunkan semangat berhaji dan semangat melempar jumroh, tapi jelas diperlukan kehati-hatian dan kewaspadaan dalam melaksanakannya.
Dalam kisah kejadian qurban diceritakan bahwa Isma`il pada waktu mengikuti bapaknya yakni Ibrohim, dia didatangi Iblis sambil berkata : Kasihan engkau ini Isma`il. Engkau tampak riang gembira, tenang dan senang mengikuti bapakmu pada hal bapakmu itu membawa tali dan pisau untuk menyembelihmu. Isma`il menjawab : ”Tak usah membohongiku, tidaklah mungkin Bapak akan menyembelihku, kenapa pula Bapak akan meyembelihku”. Iblis segera memanfaatkan kesempatan dengan mengatakan bahwa Ibrohim menganggapnya sebagai perintah Alloh. Maka Isma`il yang baru berumur sekitar tiga belas tahun menjawab dengan tegas dan lantang : ”Sami`naa wa atho`naa li amri robbi. Kami indahkan dan kami taat paTatkala Iblis terlihat akan membuka mulut lagi, Isma`il memungut sebutir batu di tanah lalu dilemparkan ke arah Iblis yang tepat mengenai mata kirinya hingga pecah. Gagal total sudah upaya Iblis menggoda keluarga Ibrohim; karena sebelumnya Iblis telah terlebih dahulu menggoda Nabi Ibrohim, Siti Hajar dan baru kemudian Isma`il A.S. Sehubungan itu kemudian Alloh menjadikan kewajiban melempar jumroh di tempat tersebut sebagai isyarat kebencian kepada syaitan dan sekaligus mengikuti apa yang diperbuat Isma`il. Keterangan seperti ini terdapat dalam Durrotun Nashihin Fil Wa`di wal Irsyad, halaman 180.
Melempar jomroh merupakan ikrar dan tekad untuk menjauhi perbuatan tercela, bersamaan dengan kehendak mempertinggi ketaatan. Demikian yang dapat difahamkan dari teriakan ketika melakukan jumroh, yaitu : ”Bismillaahi Alloohu Akbar, rojman lisy-syayaathiin wa ridhon lirrohmaan. Alloohummaj`alhu hajjan mabruuron wa sa`yan masykuuron”. (Saya memulai dengan menyebut nama Alloh. Alloh Maha Agung, terlaknatlah syaitan dan saya mohon keridloan Alloh yang Maha Pengasih. Ya Alloh jadikan haji ini haji yang mabrur dan sya`i yang diterima).
Niat, tekad atau minimal keinginan untuk menjauhi perbuatan tercela yang bersamaan dengan kehendak mempertinggi ketaatan dalam ikrar tadi, seharusnya terlihat pada kehidupan pribadi dalam setiap status yang melekat pada diri. Jika berstatus sebagai suami, ikrar jumroh harus mampu memotivisir untuk memberi pimpinan dan pengayoman terhadap isteri dan keluarganya; penuh tanggung jawab, perhatian serta pengertian. Demikian pula bila berstatus sebagai isteri, operasionalisasi ikrar tadi mestinya dapat nampak jelas pada kehidupan sebagai isteri.
Yang berstatus sebagai prajurit TNI, setelah jumroh patut menjadi prajurit pinandita. Dalam darah dagingnya diharapkan telah larut menyatu norma-norma luhur dari Sapta Marga, Sumpah Prajurit, Delapan Wajib TNI, atau Kode Etik Perwira, Sebelas Asas Kepemimpinan dan doktrin TNI lainnya. Bagi pegawai negeri lainnya yang telah digembleng untuk bernafaskan ”Panca Prasetya Korpri”, terlepas dari apakah telah menerima renumerasi atau tidak, pernyataan ketika melempar jumroh seyogyanya membekas dalam jiwa. Begitu pula bagi kalangan Hakim tingkat pertama, tingkat banding dan kasasi serta penegak hukum lain. Dengan demikian dambaan menciptakan aparatur negara yang bersih dan berwibawa sepantasnya mendapat dukungan luas dari setiap pribadi aparat, terutama yang telah mengucapkan ikrar tadi.
Sesuai atau tidak apa yang telah (sengaja) diucapkan pada saat melempar butir-butir batu dengan perbuatan sehari-hari tergantung dari niat kita sendiri, mau atau tidak, berkehendak atau tidak. Kita pasti sama-sama memiliki keyakinan bahwa Alloh SWT akan menolong serta mengangkat derajat orang yang berniat menanam kebajikan di muka bumi. Walhal, kita sangat sadar bahwa kesempatan hidup di dunia hanya diberikan-Nya satu kali saja. Ucapan Bismillaahi Alloohu Akbar, Rojman lisy-syayaathiin dan seterusnya diulang-ulang sejak melempar jumroh `aqobah tanggal 10 Dzul Hijjah setiba di Mina dari Muzdalifah, sampai tanggal 11 dan tanggal 12, bahkan bagi yang nafar tsani, pada tanggal 13 kembali melakukan jumroh yang tiga dengan ucapan-ucapan yang sama.
Dihubungkan dengan butir-butir normatif Pedoman Perilaku Hakim sebagaiman ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung dalam Surat Keputusan Nomor: KMA/104A/SK/XII/2006 tanggal 22 Desember 2006 yang terkenal dengan PPH, dan kemudian diikuti dengan Petunjuk Pelaksanaan PPH yang diatur dalam Surat Keputusan Nomor: 215/KMA/SK/XII/2007 tanggal 19 desember 2007, kita menaruh harapan agar ikrar yang telah dan pernah atau akan diucapkan oleh kita dalam pelaksanaan haji akan turut memperbesar gaung pemikiran mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, termasuk mewujudkan pengadilan yang mandiri, bersih dan berwibawa.
Semoga kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa Indonesia semakin indah seiring dengan semakin bertambahnya individu yang jiwanya terpaut erat dengan makna ikrar jumroh, membulatkan tekad menjauhi kejahatan dan membulatkan tekad mempertinggi ketaatan. Denyut nadi harapan masih terasa dan jalan selalu ada. Kiranya Tuhan menyertai kita semua.



@@ 2008 @@

Tidak ada komentar: